Melepas Kepenatan di Pulau Kelagian Lunik

Hari semakin sore. Setelah beramah tamah dengan nemo dan teman-temannya, kami melanjutkan petualangan menuju Pulau Kelagian Lunik. Lunik adalah bahasa Lampung yang berarti Kecil, makanya Pulau Kelagian Lunik juga dikenal sebagai Pulau Kelagian Kecil.

img-20161004-wa0220 img-20161004-wa0227Sesaat setelah perahu bersandar, kami serta-merta berpencar mencari spot terbaik untuk menikmati pemandangan di sekitaran Pulau Kelagian Lunik.

img-20161004-wa0239Pulau ini hampir seperti Pulau Kiluan, pulau kecil dengan hamparan pasir putih yang halus. Air laut yang biru transparan karena teramat jernihnya. Ombak yang tenang dan bukit-bukit di kejauhan.

img-20161005-wa0021

20161004_163224Indah. Sangat Indah.

Entah sudah berapa kali saya menyebut kata indah sejak pertama kali menjejakkan kaki di Lampung. Mulai dari di Bakaheuni, Teluk Kiluan, Pantai Gigi Hiu, Pulau Kiluan, dan Pulau Pahawang kecil. Tapi sungguh, benar-benar indah. Mungkin karena saya terbiasa melihat kemacetan di Jakarta, pemandangan gedung-gedung bertingkat, orang-orang yang berdesakan di angkutan umum, atau gemerlap mall-mall mewah yang bertebaran di Jakarta yang saya anggap tidaklah indah.

img-20161005-wa0027img-20161005-wa0016 Maka, tepat rasanya jika Pulau Kelagian Lunik ini kami manfaatkan sebagai tempat terakhir kami di Lampung untuk melepas segala kepenatan dari kesibukan dan rutinitas kami di kota Jakarta.

Mengingat kami ke pulau ini di hari Selasa, maka tidak ada pengunjung lain di pulau ini selain kami. Serasa pulau pribadi. Seperti halnya di Pulau Kiluan.

img-20161005-wa0011img-20161004-wa0240 Kami bebas bermain, berlari kesana-kemari. Bahkan tiduran di hamparan pasir pantai yang putih nan halus dengan sesekali diserbu ombak yang seakan menggelitik tubuh kami.

Ingin rasanya waktu berhenti sesaat dan biarkan kami menikmati keindahan dan ketenangan ini sedikit lebih lama lagi. Membayangkan esok hari, kembali ke rutinitas kami di kota Jakarta, rasanya sungguh tak ingin beranjak pergi tuk kembali.

Pada akhirnya, mentari pun mulai meninggalkan kami. Memperingatkan kami untuk kembali ke kenyataan hidup yang harus kami jalani. Dan kami pun, dengan berat hati, meninggalkan Pulau ini untuk snorkeling terakhir kali sebelum meninggalkan Lampung.

Pak Parto kemudian membawa kami menuju tempat yang disebut sebagai Cukuh Bedil. Disini kami pun disambut dengan berbagai ikan arna-warni. Bahkan saya sempat menemukan dan memegang bintang laut indah berwarna ungu. namun, kasihan rasanya jika ia harus berlama-lama dengan kami, maka secepatnya kami kembalikan ia ke habitatnya.

Disini kami tidak bisa berlama-lama snorkeling, selain karena semakin senja, ubur-ubur pun mulai menunjukkan batang hidungnya. Banyak sekali ubur-ubur kecil yang dengan baiknya menyapa kami dengan sengatan-sengatannya.

Maka, kami anggap itu peringatan terakhir bagi kami untuk meninggalkan kawasan ini.

Sesaat di Pulau Pahawang Kecil

Setelah memaksimalkan waktu mengeksplorasi Teluk Kiluan, kami melanjutkan perjalanan ke Pulau Pahawang. Bermodalkan kenalan dari Pak Khairil yang bernama Pak Muchsin, kami pun bersiap memanjakan mata untuk merekam keindahan Pahawang.

Kami diantar Pak Harahap dan ditemani Wawan. Yup, ini Wawan yang sama dari Teluk Kiluan. Ia akan menemani kami bersnorkeling ria di sekitaran Pahawang dan Kelagian.

Sesampainya di rumah Pak Muchsin, kami sempatkan diri untuk sholat Dzuhur. Ternyata, kamar tempat kami sholat berada di atas perairan, dengan pemandangan langsung ke arah Pulau pahawang. Adem dan Indah sekali pemandangannya, meskipun rumahnya terbilang sangat sederhana. Pak Muchsin ini adalah anggota TNI, tepatnya marinir. Marinir yang hidup dalam kesederhanaan dan kesahajaan.

Setelah selesai sholat dzuhur dan berganti pakaian (maklum, pakaian kami sudah tidak ada lagi yang kering mengingat kami selalu kehujanan di Teluk Kiluan), kami pun bersiap menuju Pahawang. Makan siang, check! Snorkel dan life vest, check!, air minum, check!, hp, check! Sunblock, check! And we ready to go.

Dermaga tempat kapal kami bersandar tepat berada di sebelah rumah Pak Muchsin. Di sana, Pak Parto, sang kapten kapal sudah menunggu kami.

Sejam kemudian, kami sampai di Pulau Pahawang Kecil. Lagi-lagi, pulau yang sangat indah. Sayangnya, pulau ini ternyata pulau pribadi seseorang, sehingga kita tidak bisa mengeksplor seluruh bagian pulau. Amat disayangkan. Kok bisa yah pulau ini jadi pulau pribadi alias dibeli.

img-20161004-wa020320161004_152135 20161004_152124Di pulau ini, kita bisa berjalan menuju Pulau Pahawang Besar. Ketika air laut surut, akan terlihat ‘jalan’ berpasir (kerap dipanggil tanjung putus) yang menghubungkan kedua pulau. Maka, tidak heran jika kita melihat banyak orang seakan-akan berjalan di tengah laut di antara kedua pulau ini.

20161004_152439 20161004_153316Pasir di pulau ini dipenuhi oleh pecahan karang atau kerang. Ada baiknya jika kita tetap memakai alas kaki ketika mejejakkan kaki di pulau ini. Tidak seperti saya yang terlanjur bertelanjang kaki dan merasakan pedihnya menginjak pecahan karang tersebut.

20161004_151959 img-20161005-wa0086 Tak lama berselang, kami pun meninggalkan Pulau Pahawang kecil untuk menuju tempat dimana kami bisa snorkeling dan menemui Nemo, sang ikan yang terkenal seantero jagad raya akibat boomingnya film Finding nemo dan Finding Dory.

Pak Parto membawa kami ke daerah yang disebut Galangan. Disini, kami pun snorkeling selama lebih kurang setengah jam. Begitu kami menceburkan diri ke laut, kami langsung disambut oleh pemandangan bawah laut yang luar biasa indahnya. Setidaknya bagi saya yang baru pernah snorkeling di sekitaran Kepulauan Seribu saja.

Puluhan ikan wara-wiri di hadapan saya. Mereka seakan tidak takut akan kehadiran kami. Berenang kesana-kemari dengan santainya. Di sini pulalah saya akhirnya bertemu dengan Nemo. Sang superstar di kalangan anak-anak. Nemo ini adalah jenis ikan badut (clown fish).

Sungguh, pemandangan bawah laut yang indah sekali. Padahal, banyak terumbu karang yang sayangnya sudah mati dan mengapur. Namun, jumlah ikannya masih banyak sekali dan berbagai jenis pula.

Saya jadi berandai-andai, jika saja terumbu karangnya masih hidup, entah seperti apa keindahan yang saya saksikan sekarang.Pastinya akan membuat saya terpana. Semoga terumbu karang yang mati tidak bertambah lagi di kemudian hari.

Lumba-lumba Teluk kiluan, Dimanakah kalian?

Masih dalam rangkaian petualangan kami di Lampung, tepatnya di Teluk Kiluan. Setelah seharian kemarin ke Pantai Pegadungan Gigi Hiu atau Batu Layar dan Snorkeling serta eksplor Pulau Kiluan, esoknya kami pun bersiap menjelang petualangan kami selanjutnya.

Pagi itu, cuaca masih tidak juga bersahabat. Mendung yang diikuti dengan gerimis seakan membujuk kami untuk tetap bersemedi di dalam pondok penginapan atau homestay. Menggoda kami untuk setidaknya menambah 1 hari lagi di Teluk Kiluan.

Dengan enggan, kami bersiap-siap dan packing perlengkapan untuk melanjutkan perjalanan ke Pulau Pahawang dan Pulau Kelagian.

Setelah sarapan habis kami santap, tiba-tiba Pak Khairil menginfokan kami untuk segera bersiap-siap menuju Samudera Hindia untuk berjumpa dengan sang lumba-lumba. Jujur, kami agak meragukan pertemuan ini. Entah mengapa di dalam hati kecil saya, rasanya kami belum berjodoh dengan sang lumba-lumba.

Bagaimana tidak, saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 8 lewat. Sementara umumnya, kawanan lumba-lumba terlihat sekitar pukul 6 pagi. Ditambah lagi dengan hujan dan angin yang membuat ombak menjadi tidak tenang, rasanya akan sulit menemukan mereka. Saya saja, kalau jadi lumba-lumba mungkin akan tetap berdiam di rumah dan menghabiskan waktu dengan keluarga atau teman.

Namun, rasanya memang tidak lengkap jika kami tidak mencoba menemui mereka. Setidaknya kami sudah berusaha dan tidak lagi penasaran. Karena Teluk Kiluan memang terkenal akan lumba-lumbanya. Bayangkan saja, lumba-lumba yang hidup di habitat liar atau habitat aslinya hanya bisa di lihat di Pulau Tangalooma Moreton di Australia dan di Teluk Kiluan, dari seluruh laut yang ada di dunia.

Akhirnya kami pun berangkat menuju laut lepas, Samudera Hindia. Jukung yang kami gunakan kini hanya ditumpangi oleh 4 orang saja. Jaket pelampung pun dengan senang hati saya kenakan mengingat ombak yang akan kami hadapi nanti dan cuaca yang tidak bersahabat.

20161004_103356Another challenging and high adrenalin trip.

Satu lagi perjalanan yang sepertinya akan terpatri kuat di memori saya. Kalau Gigi Hiu mewakili perjalanan darat, maka kali ini, pertemuan dengan lumba-lumba mewakili perjalanan laut.

Bismillah.

Jukung mulai melaju dengan cepat menembus hujan dan menerjang ombak yang masih tenang.

20161004_084708Hingga tiba satnya kami meninggalkan kawasan Teluk Kiluan dan masuk ke laut lepas. Sungguh perjalananan yang sekali lagi memacu adrenalin. Sepanjang mata memandang, 360 derajat jarak pandang, yang terlihat hanyalah lautan luas.

20161004_083752Ombak yang besar dan tinggi (akibat hujan dan angin kencang) sesekali membuat Jukung melambung tinggi dan air laut menerjang kami, terlebih saya yang posisinya tepat di paling depan. Saya berasa seperti sedang arung jeram di Dufan, hanya saja kali ini 1000x lipat dahsyatnya.

Disinilah saya merasa sangat kecil. Kecil sekali dibandingkan dunia ini. Apalagi di hadapan Sang Pencipta dunia ini.

Highly respect for all the fisherman.

Respek banget buat para nelayan. Meskipun profesi nelayan adalah pilihan mereka dan sudah mendarah daging bagi mereka, tetap saja dibutuhkan keberanian dan nyali yang besar.

Terlebih lagi untuk nelayan seperti di teluk Kiluan ini yang perahunya kecil, tanpa atap, dan umumnya hanya digunakan oleh 1 orang nelayan. Membayangkan terombang-ambing di tengah lautan lepas, sendiri, di malam atau pagi hari, membuat saya takjub setengah mati.

Saya pernah menaiki kapal betok ketika di Pangandaran atau kepulauan seribu. Menaikinya di pagi hari, siang, bahkan malam hari. Tapi sungguh, belum pernah merasakan yang seperti ini. Di laut lepas. Mengerikan sekaligus membuat saya penasaran.

Lumba-lumba Teluk Kiluan, dimanakah kalian?

Setelah beberapa jam berputar-putar mencoba peruntungan, kami pun menyerah. Kami pun ikhlas menyatakan kalau kami belum berjodoh dengan sang lumba-lumba. Suatu hari, ya, mungkin suatu hari nanti. Kami akan bertemu. Seperti kata pepatah, kalau sudah jodoh tak akan kemana.

Matahari mulai menampakkan batang hidungnya meskipun masih malu-malu. Menandakan bahwa kami harus segera kembali dan melanjutkan perjalanan ke Pahawang.

20161004_102844 20161004_102811 20161004_102747-1Jadi, selamat tinggal lumba-lumba, selamat tinggal Teluk Kiluan.

We see you when we see you.

Baca Juga:
Kiluan Bay

Menjejakkan Kaki di Pulau Kiluan

Sepulang dari perjalanan yang tak terlupakan ke dan dari Pantai Pegadungan Gigi Hiu atau Batu Layar, kami pun berisitirahat sejenak dan menyantap makan siang.

Sungguh, rasanya bak mimpi. Muncul rasa tidak percaya atas apa yang kami lalui dan saksikan beberapa jam ke belakang. “Beneran yah tadi ke Gigi Hiu? Beneran ya naik motor melalui jalan ga jelas itu?” terbersit dalam pikiran saya.

Kalau saja saat itu saya tidak menatap pilu namun penuh ikhlas ke HP dan kamera yang terbujur kaku di kedua tangan saya, perjalanan ke Gigi Hiu rasanya seperti mimpi saja. Seakan tidak pernah terjadi.

Sambil menyantap makan siang, rasa sedih dan kecewa kami kemarin sudah lenyap tak bersisa. Bahkan kami merasa tak akan ada lagi rasa kecewa jikalau cuaca menghadang dan membuat kami tidak bisa kemana-mana di sisa waktu kami di Teluk Kiluan.

Tapi Allah Maha Baik, disimpannya berkah hujan dari Teluk Kiluan untuk sementara.

Lepas Makan siang, kami pun bergegas menaiki Jukung (kapal tradisional nelayan Teluk Kiluan) menuju Pulau Kiluan. Semangat untuk menjejakkan kaki di pulau yang tampak indah dari kejauhan itu dan tak sabar untuk snorkeling di sekitaran pulau.

Mengingat jaraknya yang dekat, jukung yang biasanya dinaiki 2-3 orang pun mendadak jadi penuh sesak karena berisi 8 orang. Untungnya kami semua bertubuh ‘mungil dan singset.’

Sesampainya di Pulau Kiluan, jernihnya air laut dan halusnya pasir pantai menyambut kaki kami.

Indah, sungguh Indah.

img_20161005_162429 20161003_15561820161003_155631Apalagi, hanya kami ber-7 yang ada di pulau ini. A privat island just for us.

Berjalan di sepanjang garis pantai di atas pasir putih yang sangat halus dan sesekali ombak menyapu kedua kaki ditambah dengan terpaan angin laut yang dengan manjanya menyentuh setiap senti kulit kami. What an amazing feeling.

img-20161004-wa0264Tak lama kemudian, kami menyempatkan diri untuk snorkeling di sekitar pulau. Ombak yang cukup besar menyulitkan kami untuk menikmati keindahan bawah laut Pantai Pulau Kiluan. Namun saya cukup beruntung karena menjadi saya satu-satunya yang masih sempat melihat keindahan bawah laut sebelum ombak semakin besar dan hujan deras datang mengguyur.

Dingin.

Untunglah di Pulau Kiluan ini ada homestay dan juga warung yang dijaga oleh 1 orang saja. Ketika akhirnya sang penjaga datang bersama dengan kapten kapal kami. Kami pun berbahagia.

Semakin bahagia ketika Ia mengatakan bahwa kami bisa membeli dan menikmati semangkuk Indomie berkuah panas dengan telur dan cabe rawit sebagai toppingnya. Mulailah kami mengumpulkan recehan dari berbagai sempilan.

Maklum, kami sungguh tidak berencana mengindomie di pulau seindah ini. Siapa juga yang menyangka akan ada warung di pulau kecil dan terpencil ini. Maka membawa uang tidak masuk dalam daftar bawaan kami.

Disinilah kami pertama kalinya menikmati makan indomie kuah dengan telur, namun telurnya diceplok ditambah taburan irisan cabe rawit.

Dengan kondisi seluruh tubuh basah dan air menetes dari ujung pakaian kami, ditemani suara gemericik hujan, nyanyian burung dalam sangkar, deburan ombak dari sisi lain pulau, maka semangkuk indomie berkuah panas merupakan kenikmatan yang tiada tara. Apalagi ketika Wawan membawakan senampan gelas berisi the manis panas. Alhamdulillah.

“Maka, Nikmat Tuhan mana lagikah yang kau dustakan?”

20161003_175553Dan petualangan kami kali ini pun diakhiri dengan menyaksikan sisa-sisa sunset di kejauhan.
img_20161005_164316img-20161004-wa0140

Pantai Pegadungan Gigi Hiu yang Tak Akan Pernah Terlupakan

Pertama kali mengetahui tentang “surga tersembunyi” ini dari sebuah majalah keluaran maskapai Sriwijaya rute Silangit (DTB)—Jakarta CGK). Saat itu, spontan kami (saya dan Dwi) terkesima dengan foto penampakan Pantai Pegadungan Gigi Hiu berlatarbelakang matahari tenggelam alias sunset.

Indah. Begitu pikir kami.

Sangat Indah.

Sangat teramat indah dan memesona. Hingga akhirnya kami meniatkan diri untuk mengunjungi pantai itu di trip kami selanjutnya.

Senin, mentari pagi pun menjelang namun enggan menunjukkan batang hidungnya. Teluk Kiluan diguyur hujan. Langit pun menghitam. Deburan ombak pun semakin keras terdengar karena angin yang cukup kencang.

Sedih. Kecewa.

Setelah menghabiskan hari Minggu di lokasi homestay karena cuaca yang sama, kami pun berandai-andai akankah hari Senin ini berakhir sama. Tapi apa mau dikata, cuaca bukanlah perkara manusia. Maka, doa menjadi satu-satunya pilihan kami saat itu.

20161003_061315

Menanti redanya sang hujan

Setelah menikmati sarapan pagi ditemani dengan kopi item khas Lampung hasil gilingan sendiri dan dibumbui dengan obrolan bersama pak Khairil (pemilik homestay dan orang yang membantu trip kami di Teluk Kiluan), hujan pun mereda. Dan tibalah saatnya kami menuju Pantai Pegadungan Gigi Hiu atau Batu layar yang kami impi-impikan dahulu.

Untuk menuju pantai ini, Pak Khairil menyarankan kami untuk naik ‘ojek.’ Saat itu, kami ber-5 sama sekali tidak membayangkan jalur seperti apa yang akan kami tempuh. Yang kami tahu hanyalah lokasinya cukup jauh, terpencil dan jalannya berbatu.  Dibutuhkan sekitar 1,5–2 jam untuk mencapai lokasi. Maka, bersemangatlah kami.

Selama ini, para traveler, para fotografer, para blogger, dan para jurnalis yang mengangkat cerita mengenai Keindahan Pantai Pegadungan Gigi Hiu ini luput dari menjelaskan bagaimana perjuangan mereka hingga akhirnya bisa menikmati keindahannya.

Awalnya, rute yang kami lalui sama seperti rute ketika kami datang ke teluk Kiluan. Setelah keluar dari gapura teluk Kiluan, dimulailah perjuangan kami. Awal dari perjalanan yang sungguh tak terbayangkan, menantang, dan mamacu adrenalin, sekaligus memacu jiwa religious saya. Bagaimana tidak, sepanjang perjalanan, tak henti-hentinya saya berdoa atau berdzikir dalam hati.

Sungguh tak terbayangkan. Speechless.

Jalan yang semestinya untuk didaki. Jalan yang semestinya diperuntukkan bagi motor-motor off road atau mobil-mobil off road. Kali ini kami lalui bersama pengendara motor yang sebagian masih anak SMU beralaskan sandal jepit, sandal gunung, dan sepatu bot dengan motor andalan mereka yang sangat amat jelas adalah motor biasa, bukan motor off road.

Berbagai jenis jalan kami lalui. Mulai dari yang penuh batu besar, batu kecil, jalanan aspal, beton, tanah, lumpur, rumput, sebut saja. Semua jalanan ada di sini. Mulai dari yang di tengah-tengah perkampungan, di pinggir pantai, ditengah hutan hingga menyeberang jembatan pun kami lalui.

Ditambah kondisi cuaca yang tidak bersahabat. Alhasil, kami pun ditemani hujan, kabut, dan angin dingin.

Jalanan mendaki, menurun, dan berliku-liku terus berulang hingga kami sampai di lokasi. Dan ketika saya tuliskan mendaki juga menurun, bayangkan dengan sudut kemiringan lebih dari 45 derajat dengan kondisi jalan yang saya sebutkan di atas. Menegangkan dan melelahkan.

Berkali-kali kami tergelincir, ada yang terjatuh, saling mendorong, hingga terpaksa kami ‘minta atau diminta’ turun dari motor karena sulitnya medan yang kami tempuh.

Bahkan bagi Mega, yang notabene saya nobatkan sebagai anak gunung sejati (entah sudah berapa banyak gunung di Indonesia yang ia daki) merasa ‘sangat terkesan dan seru’ dengan perjalanan ini. Padahal ia sudah pernah menjejakkan kaki di trek Semeru dan Rinjani.

Ketika akhirnya kami diyakinkan oleh para bikers bahwa kami sudah tiba di lokasi, rasa lega dan haru pun membuncah dihati. Kami selamat sampai di sini.

Namun tampaknya perjuangan belum usai. Kami masih harus berjalan kaki melalui pinggir pantai. Melewati karang, bebatuan, dan pinggir hutan.

20161003_103334 20161003_103822 20161003_104454 20161003_105301Hingga akhirnya, dihadapan kami, terpapar dengan jelasnya, susunan batu karang yang Nampak layaknya Batu Layar atau Gigi Hiu. Sesekali dihantam keras oleh deburan ombak.

20161003_110146 img-20161005-wa003620161003_115356Indah. Begitu pikir kami.

Sangat Indah.

Sangat teramat indah dan mempesona. Sampai-sampai kami lupa sejenak perjalanan menegangkan tadi.

20161003_110434Tak mau kembali, pikir kami.

Mengingat kami harus melalui jalan yang sama tadi.

Dan kami pun, menikmati hasil perjuangan hari ini, dari puncak salah satu karang di gugusan karang Gigi Hiu atau batu Layar ini. Mencoba mensyukuri dan merekam semua keindahan di sejauh mata memandang untuk kemudian diawetkan menjadi memori Pantai Pegadungan Gigi Hiu yang Tak Akan Pernah Terlupakan.

20161003_113605

Terima kasih saya ucapkan untuk biker yang terpaksa saya percayakan keselamatan saya selama perjalanan, yaitu Wawan. Cerita mengenai Wawan akan ada di lain kesempatan. Respect saya buat kamu. Pelajar kelas 2 SMUN bertubuh kecil namun sekuat dan setangguh baja. terima kasih tidak membuat saya jatuh, meskipun lebam biru biru tak terhindarkan di sekitaran telapak kaki saya.

Dari Merak ke Kiluan

Term Break! Akhirnya hari yang kami tunggu-tunggu tiba juga. 3 Bulan yang lalu tepatnya, kami berencana mengunjungi destinasi wisata yang ada di Lampung. Target kami kala itu adalah Teluk Kiluan, Laguna, Pantai Pegadungan Gigi Hiu, dan Pulau Pahawang serta pulau-pulau kecil di sekitarnya dalam waktu 3 hari 2 malam.

Hari itu, Sabtu dini hari, kami ber-5 bertemu di depan loket tiket ASDP Indonesia ferry di Pelabuhan Merak. Waktu menunjukkan pukul 3 lewat. Telat 1 jam dari rencana kami semula. Akhirnya, kami pun membeli tiket seharga IDR 13.000 untuk sekali jalan. Mengingat kondisi cuaca yang tidak begitu baik dan proses bongkar muat yang cukup memakan waktu, kapal ferry yang kami tumpangi pun berlabuh sekitar pukul 4 pagi dan bersandar di Pelabuhan Bakauheni sekitar pukul 7 pagi.

img-20161002-wa0004

20161002_070905

Pelabuhan Bakauheni, Lampung

Sesampainya di Pelabuhan, mobil jemputan kami pun siap mengantarkan kami ke Teluk Kiluan. Perjalanan dari Pelabuhan menuju Teluk Kiluan terbilang cukup jauh. Belum lagi jalanan yang kami lalui penuh tantangan. Mulai dari jalanan yang rusak, penuh, air, berlumpur, berbatu, hingga berlubang, dan percayalah itu bukan lubang biasa. Jika anda berniat ke Teluk Kiluan menggunakan mobil sedan atau mobil yang rendah alias ceper, sebaiknya lupakan saja. Ada baiknya anda menggunakan mobil yang kuat untuk off road.

Mendekati Teluk Kiluan, perjalanan kami bagaikan perjalanan ke Puncak, atau perjalanan dari Bandara Silangit ke Danau Toba. Berliku-liku, di sepanjang pinggir bukit, dihiasi pemandangan pepohonan yang rimbun nan hijau. Tidak tampak penerangan di beberapa bagian. Di Kejauhan, teluk kiluan pun dengan sombongnya memamerkan keindahannya.

Tak lama kemudian, kami disambut oleh gerbang atau gapura yang menandakan tibanya kami di teluk kiluan. Di sepanjang perjalanan menuju homestay Iril (sang pemilik bernama Pak Khairil), kami mendapati sejumlah rumah khas Bali. Dengan gapura batu dan tempat ibadah di dalamnya. Sempat terpikir, “apakah saya di Bali atau di Lampung ya?”

20161002_142241img-20161004-wa0105Kami pun tiba di homestay yang letaknya tepat di depan teluk Kiluan. Suara ombak dengan nyaringnya menggetarkan pendengaran saya. Hembusan angin sepoi-sepoi dengan halusnya menerbangkan ujung kerudung saya. Nikmatnya. Ademnya. Ucap hati saya.

Dan kami pun, tak sabar untuk menjelajahi indahnya salah satu bagian bumi Indonesia ini selama 3 hari 2 malam. What a short getaway.

Baca juga:
Pantai Pegadungan Gigi Hiu yang Tak Akan Pernah Terlupakan