Trienal Seni Patung Indonesia #2 “Versi”

Ini kali kedua saya menyambangi GalNas alias Galeri Nasional dalam rangka menikmati karya seni setelah puas menikmati Jakarta ceramics biennale. Waktu itu, saya melihat beritanya di website resmi GalNas.

Pameran Seni patung Indonesia ini bisa dilihat dari tanggal 22 Oktober 2014 sampai dengan 10 November 2014. Ada 53 perupa Indonesia yang turut berpartisipasi dalam pameran ini.

Akhirnya, tanpa planning yang matang, Jumat kemarin, kami melaju menuju GalNas dengan memanfaatkan transportasi Commuter Line dan Bajaj.

Sampai di lokasi, malam sudah mulai menjelang. Mengingat waktu pameran yang hanya sampai pukul 19.00, jadilah kami terburu-buru masuk ke dalam galeri.

Wow! is my first reaction when I started to explore the exhibition.

Why? karena ketika masuk, kami langsung disambut oleh pemandangan seekor kuda putih yang bagian depan tubuhnya tertutup tumpukan pakaian.

Trienial Seni Patung Indonesia (21)Setelah puas memandangi the horse ass, mata saya tertuju pada sebuah objek bercorak hitam putih (secara saya suka sekali klub juventus dengan motif hitam putihnya) yang ternyata berjudul “melihat lebih dalam.”

Well, I did as it told me to, “looking at it more deeper.”

Trienial Seni Patung Indonesia (19)Semakin ke dalam, semakin saya terpana dengan hasil karya seni perupa kita. Terutama sebuah “bola besar” berwarna kuning terang yang berada di tengah galeri. Bak selebriti, bola tersebut menjadi pusat perhatian dan juga infamous spot for taking selfie.

Trienial Seni Patung Indonesia (25)Trienial Seni Patung Indonesia (24)So, I am kind of hoping this (Volkswagen) VW beetle in front of me turn into bumblebee, the small autoBot in the transformer.

Do you know that, VW beetle IS the original form of bumblebee? Not the chevy Camero we know now from the movie. Well, I kind of miss the old bumblebee VW beetle.

Anyway, this is VW bola, bug Volkswagen buatan tahun 1953 karya Ichwan Noor. Meskipun bentuknya bola, kita pasti langsung ‘ngeh’ kalo itu Mobil VW kodok.

I am still wondering, curious, on how VW became completely smooth sphere like a ball.

Move on to other object. This one is kind of my favorite. Took some time just standing there and gazed at it. I’m feeling myself in there. Judulnya ‘Sepi Yang Membunuh’ karya Djoni Basri.

Trienial Seni Patung Indonesia (20)Trienial Seni Patung Indonesia (3)Lanjut ke seni rupa berbahan dasar logam.

Love the quote, “Only a life lived for others is a life worthwhile.” I couldn’t agree more.

Trienial Seni Patung Indonesia (22) Trienial Seni Patung Indonesia (4)And, finally, another infamous spot for taking picture. It’s okay to be mainstream, so I decided to line up waiting for my turn. If only I had wings, it would be like this? maybe.

Trienial Seni Patung Indonesia (17)

Giliran pun tiba, saya tarik napas dalam-dalam, menutup mata, membayangkan kedua sayap yang selama ini tersembunyi di balik pakaian, perlahan-lahan memaksa keluar dan muncul dengan megahnya. What a beautiful sight.

Sayup-sayup saya seperti mendengar suara Miyamoto Sunichi  menyanyikan True Light (lagu soundtrack anime berjudul D.N. Angel)

Kanashii hodo hikaridashita shiroi yami kirisaku tsubasa ni nare

Become as wings that outshine your sadness, cutting through the white darkness.

 

Somehow, it reminds me also of Asian Kung-Fu Generation ‘After dark’ music video.

After the infamous, here are some other that I’m quite love.

Trienial Seni Patung Indonesia (10)Trienial Seni Patung Indonesia (1)Trienial Seni Patung Indonesia (15) Trienial Seni Patung Indonesia (8)

Trienial Seni Patung Indonesia (11)Somehow, I felt sad when I look at this. Keluar keinginan untuk menemaninya dan sekadar menghiburnya (disclaimer: I DIDN’T TOUCH THE ARTWORKS. Cuma angle-nya saja yang membuat saya seolah-olah menyentuh ‘dia’)

Trienial Seni Patung Indonesia (14)Last but not least… sebelum mengakhiri kunjungan kali ini…

Trienial Seni Patung Indonesia (28)Puas sudah kami menjelajahi galnas. Nikmat sudah menatap karya seni dari 53 perupa. Waktu makan malam pun tiba. Lanjutlah kami, menemui abang bajaj yang sudah siap menanti sedari tadi menuju Djakarta Cafe.

The 3rd Jakarta Contemporary Ceramics Biennale

Ini merupakan salah satu event yang sudah saya tunggu-tunggu. Berbekal surfing di dunia maya, I finally found info about it.

Been waiting for almost a month. Been bookmarking their website and stalked their instagram just to get the latest update.

And here I am, the day finally came when I can feed my sight with so many beautiful and impresive art based on ceramics.

Jakarta Contemporary Ceramics Biennale atau disingkat JCCB ini adalah event tahunan yang diadakan untuk ketiga kalinya di Jakarta. Bertempat di Galeri Nasional yang berada tepat di depan stasiun Gambir.

Untuk menuju lokasi galeri ini terbilang cukup mudah. Saya pribadi menggunakan transportasi umum. Tentunya setelah saya bertanya kepada mbah google maps.

Saya memulai perjalanan dengan naik motor hingga ke stasiun Sudimara. Dari Sudimara naik kereta api jurusan Parung Panjang – Tanah Abang. Lalu lanjut naik bajaj seharga 25 ribu rupiah.

Excited sekali untuk naik bajaj, setelah sekian lama, sampai-sampai tidak menawar lagi. Dan, sampailah kami di Galeri Nasional.

Sampai disana, rasanya familiar ya. Ternyata eh ternyata, saya pernah kesini saat jaman SMA dahulu kala. Waktu itu saya dan beberapa teman mewakili sekolah SMUN 70 Jakarta untuk mengikuti semacam seminar yang pembicaranya waktu itu adalah Ibu Khofifah Indar Parawansa.

Sesampainya di galnas, kami langsung menuju TKP. Ah, betapa senangnya saya, galeri tampak sepi. Mungkin karena hari selasa itu hari kerja plus kami datang sekitar jam 11 an.

Kenapa senang? Jadi kami bisa menikmati setiap hasil karya seni dengan santai dan tenang, tanpa berdesakan atau banyak yang menyela sekadar untuk take a selfie.

Sungguh tidak sabar ingin segera masuk ke dalam. Tapi, kita harus mengisi buku tamu terlebih dahulu dan menitipkan tas atau jaket. Agak kaget karena kami tidak ada persiapan membawa tas kecil untuk menaruh hp, kamera, dan dompet.

Tapi, ketika sudah masuk, kami sadar kenapa harus dititip. Selain mencegah pencurian, yang paling penting adalah, supaya kita bebas bergerak tanpa takut menyentuh atau menyenggol barang yang dipamerkan.

Ingat, semuanya terbuat dari keramik alias barang pecah belah. Pecah berarti mengganti. Hiiiy sereeem, berapa coba harga sebuah karya seni. Kalau barang pecah belah di mall saja mahal apalagi disini.

Begitu masuk, kami di sambut oleh tulisan JAVA yang terbuat dari kotak-kotak berisi patung logam berbentuk kepala dan tumpukan kepala yang terbuat dari tanah liat. What an art from Dadang Christanto.

Lanjut ke dalam galeri. Mata saya terpana dengan hasil karya Yoichiro Kamei. Ia terkenal melalui karya instalasi keramik yang terstruktur secara rapi. Tipikal jepang. Detail dan presisi. Keren abis.

“Lattice receptacle” yang terbuat dari porcelain.

Puas melihat dari dekat bagaimana kubus-kubus itu menyatu menjadi karya yang sangat indah. Kami menjelajah lebih ke dalam.

Below is the one from Arghya Dhyaksa Nindita. This is very popular spot for taking selfie. I have to wait quite long time just to get my turn.

Yang menarik adalah karyanya yang unik. Coba saja baca tulisan yang ada disana. “Get whale soon. Notice me senpaii. Placard. Merokok membunuhmu. Born to be.  Obat wc. Bugil tapi sopan. Crows zero.”

Another famous spot for taking selfie is this one from Geoffrey Tjakra. So many beautiful ocarina arranged into circle shape.

Tergoda untuk mencoba meniup ocarina-nya, tetapi pasti tidak boleh. Sayang sekali kami tidak sempat ikut workshop yang bersama sang Geoffrey.

Oiya, di galeri ini juga ada orang yang selalu menjaga dan mengingatkan kita untuk berhati-hati. Jika kebetulan pergi sendiri, mereka juga bisa dimintai tolong untuk menjadi tukang foto dadakan. Kalau saya sih, untungnya membawa fotografer pribadi alias mama tercinta.

jccb3 (39)Karya di bawah ini, gabungan antara art and technology. Tangan saya sungguh gatal untuk memencet tombol-tombol itu sekadar untuk mendengar alunan suara dari sendok yang menyentuh cangkir keramik.

Interesting. Can you believe that the one who made this installation is a young man from Indonesia. I’m so proud, man!

Beberapa karya yang lain.

Nah, kalo yang ini, sungguh menyentuh saya. Entah kenapa. Art yang dibalut teknologi. Flood of tears dan Untitled #13

jccb3 (23)Before my teary eyes turns into completely cried eyes, I better move away and enjoy another piece of arts.

Art for You (Life and Love) Karya R. Sigit Wicaksono.

Beruntungnya saya, ketika mengunjungi museum bank mandiri, saya berkesempatan melihat lukisan hasil karya R. Sigit Wicaksono.

Meskipun saya tidak ahli dalam hal lukisan, namun saya sangat menikmati setiap lukisan yang dipamerkan, dengan total 97 lukisan.

Pameran Tunggal R. Sigit Wicaksono ini termyata berlangsung sejak tanggal 11-20 Oktober 2013 di Museum Bank Mandiri.

Pameran ini bertajuk “Art for You (Life & Love).” Sejatinya, lukisan yang dipamerkan merupakan ungkapan cinta kepada keluarga dalam tampilan abstraksi.

Abstraksi berarti meminimalisir bentuk. Oleh karena itu Sang Pelukis  mengekspresikan ungkapan cintanya dalam bentuk-bentuk yang sederhana, seperti persegi, persegi panjang, segitiga, lingkaran dan elips.

Pameran tunggal R. sigit Wicaksono art for you 10

Padusi, Story of Three Strong Women

That day, I got a rare chance to watch a remarkable musical theater titled “Padusi.” The story is about a women legend in Minang (Padang), Indonesia.

Padusi itself, means woman in Minang language.  It was a story about tradition that still live in there until today. It is about 3 different story, 3 women, 1 fight.

So it was all about the power of women. Women are not that weak, we are a strong person, not differ than men. But we do realize our destiny as woman.

Padusi

Just like Puti Bungsu who live her life as human as best as she can as Malin Deman wife, but not gave up her dream to go back to the place where she was coming from, as a fairy.

Or like Siti Jamilan who really respect her husband (Lareh Simawang), trust him, and loyal to him until the very end of her life.

Or just like Sabai Nan Aluih who strongly  refused to be married to some old man named Rajo nan Panjang, eventhough he had a great power and feared by others (somehow it reminds me of the story Siti Nurbaya and Datuk Maringgih).

Even in the end, Sabai is bravely confronted him and took revenge on him for the death of his father Rajo Babandiang.

IMG-20130511-WA0003What impress me is the show was awesomely beautiful and simply touching. A simple decoration, a colorful songket (a traditional fabric from Padang), a meaningful dance, and a very touching music were completed by a strong performance from the actors, actresses, and dancers.

My feeling is being like on a rollercoaster throughout the show. I felt lots of emotion in the same time. All the cast and crew were doing great for turned me like that.

Padusi made me want to watch some more.

This is one of short review which I like from The Jakarta Post:

In the story, the titular character Padusi arrives in Padang on a plane from Jakarta. She is recently widowed and wants to rediscover her cultural heritage in the land of her ancestors.

During her visit, she encounters legends from local folktales, which are represented by three vignettes in the play.

 

The first is about Puti Bungsu, a fairy who is stranded after her wings are stolen and hidden by Malin Deman, while she bathes at a pond with her sisters.

 

Puti Bungsu is later forced into marriage with Malin Deman, a man dependent on his mother. Even after giving birth to her son, Malin Duano, Puti Bungsu never stops looking for her stolen wings.

 

The second story, which is related to the first, follows Malin Deman, who leaves his village to look for Puti Bungsu. He meets the womanizing Lareh Simawang, who intends to marry another woman despite already having an expectant wife, Siti Jamilan, and two children.

 

After discovering that her husband wishes to marry a younger woman, the pregnant Siti Jamilan decides to kill herself and her two children. Lareh Simawang is deeply shocked by his wife’s actions and loses his mind.

 

In the third and final encounter with the legends, Padusi observes the story of the beautiful and kindhearted Sabai Nan Aluih, who refuses to be betrothed to an elderly aristocrat, Rajo Nan Panjang. Her betrothal was demanded as a payment for the debts of her father, Rajo Babandiang.

 

In the final scene, Padusi talks with Malin Deman and Lareh Simawang. She imparts the lesson she has learned from the women.

 

I am not a woman that can be bought with wealth and power, or can be judged,” Padusi says, both to herself and the men.

 

dsc_6601dsc_6603There is a well said from Tom Ibnur (Padusi choreographer) which I strongly agreed,

We, as artist can not walk alone.

We need partner and support…

So, rather than being angry when our culture is claimed by others,

lets support each other to conserve our culture.

If it’s not us, who else?

If It’s not now, when will?

 

 

Stories from Minangkabau Through the Ages

Padusi, Tiga Kisah Legenda Ranah Minang