Gifted by H. A. Swain

Sudah lama rasanya saya tidak melahap buku setebal ini, sampai habis tanpa jeda. Sebegitu menariknya sampai saya terus membaca dari satu halaman ke halaman lainnya.

Walaupun jujur, di bagian awal, ingin rasanya menaruh pembatas buku karena bingung dan bosan dengan jalan ceritanya. Tiba-tiba saja saya disuguhi dengan drone dan belalang-belalang mekanik aneh yang bersliweran, istilah-istilah yang ajaib (ASA, SCEWL, SQEWL, Plute, Plebe, Buzz, dll.) dan dunia antah berantah tanpa ada kejelasan mai dibawa kemana saya ini.

Untungnya saya bertahan dan rasanya tidak sia-sia. Semakin ke tengah, semakin saya tertarik membaca hingga ke bagian akhirnya.

Seru. Kocak. Manis. Tapi juga menegangkan. Dua tokoh utamanya, Orpheus Chanson dan Zimri Robinson (unik ya namanya) berhasil membuat saya terlena dengan takdir dan dunia mereka yang bertolak belakang.

Ditambah lagi, penulis memakai sudut pandang orang pertama untuk Orpheus dan Zimri, bergantian di setiap babnya. Alhasil, ketika kedua tokoh ini bertemu, saya seakan-akan sedang ngobrol sendirian.

Ceritanya, sungguh relate sebenarnya. Karena dunia mereka seakan menggambarkan dunia kita suatu saat di masa depan. Dimana robot mengambil alih pekerjaan manusia. Dimana ilmu pengetahuan semakin berkembang sampai-sampai, prosedur operasi otak (disebut sebagai Acquired Savant Abilities/ASA) bisa membuat orang menjadi jenius, gifted, atau ahli dalam satu hal hanya dalam semalam. Dimana semua hal cuma bisa didapatkan dengan uang, termasuk musik (Pay for Play) yang menjadi topik utama cerita. Terdengar sedikit menakutkan, tapi itu bisa kejadian di masa depan. Dengan segala teknologi yang terus berkembang pesat.

Seru banget. Pokoknya seseru itu. Apalagi kalo suka genre Science Fiction, Thriller, dan sedikit Romance, cocok banget baca buku ini.

Dingin Menyengat, Mentari Menghangat di Bukit Cinta, Bromo.

Dini hari itu, kami bergegas menyambut hari tuk menyaksikan terbitnya mentari. Orang bilang, “kalau ke Bromo itu, ga lengkap kalo ga ngeliat sunrise.” Jadi, kami pastikan tidak melewati momen menanti munculnya sang mentari dari kawasan Bromo, yang sudah terkenal seantero jagad raya.

Untuk bisa menuju lokasi, kami harus menuju Bukit Cinta di kawasan Bromo. Di pagi buta, mengendarai Jeep dengan hanya berteman lelampuan dari jeep-jeep lain di depan dan belakang kami. Jalanannya pun tidak bisa dibilang mulus tanpa rintangan. Sungguh. Penuh dengan “gajlukan” di sana sini, yang sukses membuat kami terus melek di sepanjang perjalanan.

Sampai di daerah Bukit Cinta, rentetan Jeep pun menyapa. Tidak terbayang berapa banyak manusia yang sudah siap di spot-nya masing-masing, hendak bertemu dengan sang mentari. Begitupun dengan kami, buru-buru kami memanjat salah satu bukit di kegelapan dini hari. Brrr… dingin menyengat di sekujur badan. Diam-diam memohon agar bintang yang kami tunggu segera muncul dan menghangatkan kami.

Tak berapa lama, semburat kuning tampak dikejauhan… Ah hangatnya, pikir kami. Tapi bohong! Terakhir saya cek suhu, baru mencapai 5 derajat Celcius. Butuh lebih dari sekadar semburat kuning untuk bisa mengusir sengatan dingin ini.

Dan muncul dia. Bintang paling favorit di jagad manusia, MATAHARI. Dingin yang tadi menyengat pelan-pelan tergantikan oleh Mentari yang menghangat. Maasyaa Alloh. Indahnya, pikir saya. Terdiam entah tuk berapa lama, menyaksikan karya seni ciptaan Alloh SWT yang tak ada duanya.

Voices Are Not for Yelling by Elizabeth Verdick

What is yelling? Do you know when we
yell? Join the children in this book to
discover how we can use our voices in
different places and situations.

Kalau anak-anak sering berteriak atau bersuara keras saat berbicara maupun memanggil, dan kita sudah berjuta kali mengingatkan tapi tetap sama hasilnya. Maka, kita bisa coba bacakan buku ini ke mereka.

Berdua, sambil memangku anak, membaca buku ini. Sesekali mengingatkan kenapa tidak dianjurkan berteriak-teriak.

Sesekali pula, hubungkan dengan perasaan atau emosi, baik anak yang berteriak maupun orang yang diteriakin atau yang mendengarnya. .

Ketika suatu saat, teriakan terdengar lagi, maka gunakan buku ini sebagai referensi.

“Remember the book, voices are not for yelling.”
“When you want something, let’s use our indoor voice.”
“Yelling might hurt other’s feeling.”
Dan lain sebagainya.

Kosa kata yang bisa dikenalkan:
Voice, yelling, hurting, loud, indoor, outdoor, scream.

The Fault in Our Stars by John Green

Cried a bucket for Hazel and Augustus love story. Tissue, anyone?

Sebenarnya, kisah Augustus dan Hazel ini sudah difilmkan dan booming dalam sekejap.

Tapi entah kenapa, saya lebih suka versi novelnya ketimbang fimnya. Lebih dapet aja “feel” nya dan lebih bikin baper maksimal.

Sepanjang baca novelnya, sedih, lucu, mendebarkan campur aduk jadi satu.

Memang ya, kisah cinta yang dibumbui sakit parah yg belum ada obatnya itu pasti bakalan menguras air mata.

Bisa dipastikan 99% berakhir tragis alias ga happy ending. Pun begitu dengan kisah cinta Hazel & Augustus ini.

Selain itu, kita pun disuguhi dengan beberapa referensi buku yang sering dikutip, baik oleh Hazel maupun Augustus. Jelas, sukses bikin saya penasaran dengan buku-buku tersebut.

Satu hal yang paling mengena dan berkesan bagi saya, adalah surat yang ditulis Augustus kepada Peter Van Houten. Surat yang meluluhlantakkan jiwa raga, yang menceritakan betapa berarti dan berharganya seorang “Hazel” dimata seorang “Augustus.”

The Subtle Art of Not Giving A F*uck by Mark Manson

“Life is essentially an endless series of problems. The solution to one problem is merely the creation of another one. It never stops; they merely get exchange and/ or upgraded.”

“Don’t hope for a life without problems. Instead, hope for a life full of good problems. Cause problems birth happiness.”

Baca buku ini kaya kita lagi ngobrol sama Mark Manson si penulis. Terus kita curhat sama dia. Dia dengerin curhatan kita sampe abis.

Sekarang, giliran dia yang curhat tentang hidupnya dia.  Tapi dibalik curhatannya itu, dia sebenernya lagi bantu kita ngadepin masalah yang tadi kita curhatin tanpa bermaksud nasehatin.

Makjleb. Karena bagi dia, jelek ya dibilang jelek, bagus ya dibilang bagus.

Plus, dia menekankan pentingnya “problem solving” alias penyelesaian masalah yang merupakan keahlian yang harus kita miliki dan kuasai di era sekarang ini.

The Sky is Everywhere by Jandy Nelson

Novel ini punya tempat istimewa tersendiri dalam hati saya. Kisahnya sungguh mengena dan relate banget sama diri saya sendiri.

Sosok Lennie Walker sang tokoh utama digambarkan baru berusia 17 tahun, terobsesi novel ‘Wuthering Heights’ (sampe baca 23x), pemain klarinet, dan bagian dari Band.

Dia juga sangat romantis dan suka menulis puisi, kapanpun, dimanapun, pada media apapun juga.

Dan yang menjadi sorotan utama novel ini, seorang Lennie yang kehilangan kakak perempuan satu-satunya yang bisa dibilang belahan jiwanya.

Kenapa saya bilang relateable banget sama kehidupan saya, karena selama saya membaca kisahnya, seakan-akan saya membaca kisah saya sendiri. Kehilangan seseorang yang begitu dekat dengan kita secara tiba-tiba tanpa bisa mengeluarkan apa yang kita rasakan. Rasanya sesuatu banget.

Jadi, sepanjang saya membaca tiap halaman, saya mengangguk-angguk dan bergumam “Iya bener. Bener banget. Kenapa…” semacam menyetujui sikap dan isi hati Lennie.

Tapi, bukan berarti ceritanya melulu tentang kesedihan dan kehilangan, banyak juga kata-kata dan percakapan yang bikin kita ketawa dan cengar-cengir sendirian. Apalagi kalau Sarah dan Lennie sudah ketemu, atau Joe kumpul dengan saudaranya, juga Lennie dengan suara hatinya, dijamin bikin ngakak karena lebay.

Jadi, boleh banget untuk baca buku ini. Bahkan lebih dari sekali.

Childhood

Kalau kamu suka puisi, suka bahasa Inggris, suka tantangan, sekaligus suka sosok anak-anak, maka buku ini mungkin buku yang tepat buat kamu.

Buku ini dipenuhi oleh puisi-puisi klasik yang berhubungan dengan kehidupan anak-anak.

Saking klasiknya, kosa kata bahasa Inggris nya pun cukup sulit dipahami. Bisa dibilang, bahasa sastra banget. Sudah begitu, bahasa Inggris pula.

Buku ini sukses membuat saya puyeng memutar otak, bolak-balik membuka kamus bahasa inggris, pakai aplikasi dictionary, sampai pakai ilmu kira-kira alias “kayanya artinya ini deh.” Semuanya demi memahami apa yang ingin disampaikan oleh sang penulis melalui puisinya.

Sulitnya memahami buku ini telah mengingatkan saya akan karya-karya Shakespeare.

Untungnya, mulai dari halaman pertama, kita dimanjakan dengan gambar ilustrasi yang indah sekali, mirip lukisan.

2 by Donny Dhirgantoro

Arti dari angka 2 itu ternyata segala sesuatu diciptakan 2 kali.

Dalam dunia imajinasi dan dalam dunia nyata. Di dunia imajinasi dalam bentuk impian dan di dunia nyata direalisasikan dengan penuh perjuangan.

Dengan kerja keras, tinggalkan bukti di dunia nyata kalo impian kita itu, ada, bukan sekadar mimpi belaka.

Dan, jangan pernah meremehkan kekuatan seorang manusia karrna Tuhan sedikit pun tidak pernah.

Buku ini sangat menghibur dan banyak nilai positif yang bisa kita dapatkan. Kita pun akan sering dibuatnya tertawa atau setidaknya cengar-cengir ga karuan karena banyak kata-kata yang lebay bin receh, terutama di chapter-chapter awal.

Latar belakang dunia perbulutangkisan yang notabene olahraga kebanggan sejuta umat di indonesia, semakin membuat novel ini menarik untuk dibaca.

Anne of Green Gables by Lucy M. Montgomery

What is your name?
My name is Anne with an “e”

Sepenggal kalimat yang selalu saya ingat tiap kali baca buku seri ANNE karya Lucy M. Montgomery.

Kisah klasik berusia 100 tahun lebih yang tak pernah bosan dibaca berulang kali.

Buku seri Anne yang pertama ini bisa dibilang favorit saya. Jatuh cinta sama sosok Anne yang masih anak-anak dengan karakternya yang ceria, penuh imajinasi bahkan bisa dikategorikan lebay saking imajinatifnya.

Belum lagi sifatnya yang cerewet alias ceplas ceplos, selalu mengungkapkan apa yang ada di pikirannya dan tak hentinya bertanya.

Selain itu, Anne yang impulsif, berani, pantang menyerah, dan selalu menyikapi banyak hal secara positif sungguh membuat saya berdecak kagum pada sosoknya.

Anne memiliki semua karakter yang sejatinya dimiliki anak-anak.

Ditambah lagi dengan latar belakang “green gables” dan “Avonlea” yang digambarkan penuh dengan keindahan alam. Membuat saya membayangkan betapa adem dan serunya bertumbuh di sekitaran alam bebas.

Dulu, membayangkan live version Anne mungkin semacam “Sound of Music” atau “Little House in the Prairie.” Tapi sekarang, kita bisa menyaksikan serial netflix “Anne with an E” sehingga tak perlu lagi sekadar membayangkannya. 😁

Jazz, Parfum, dan Insiden by Seno Gumira Ajidarma

Salah satu penggalan dari buku ini yang cukup saya ingat, yaitu mengenai seorang wanita dengan parfum Escape (untuk pria).

Escape merupakan evolusi final. Bagi Calvin, kata itu menciptakan pembebasan, menjauhi kantor, segala tekanan, dan dari menjadi Calvin Klein selamanya. “Anda lari, anda pergi, tapi anda melakukannya dengan suatu gaya,” ujar Calvin.

Entahlah bagimana mencocokkan konsep itu dengan aroma parfum, namun itulah yang teringat olehku ketika wanita dengan parfum Escape tersebut seperti tiba-tiba saja menjelma dihadapanku.

Terkesan sebagai buku yang romantis, namun nyatanya, buku yang sarat makna dan tujuan. Menyentuh dunia politik kala itu yang cukup tabu untuk dibicarakan.