Dingin Menyengat, Mentari Menghangat di Bukit Cinta, Bromo.

Dini hari itu, kami bergegas menyambut hari tuk menyaksikan terbitnya mentari. Orang bilang, “kalau ke Bromo itu, ga lengkap kalo ga ngeliat sunrise.” Jadi, kami pastikan tidak melewati momen menanti munculnya sang mentari dari kawasan Bromo, yang sudah terkenal seantero jagad raya.

Untuk bisa menuju lokasi, kami harus menuju Bukit Cinta di kawasan Bromo. Di pagi buta, mengendarai Jeep dengan hanya berteman lelampuan dari jeep-jeep lain di depan dan belakang kami. Jalanannya pun tidak bisa dibilang mulus tanpa rintangan. Sungguh. Penuh dengan “gajlukan” di sana sini, yang sukses membuat kami terus melek di sepanjang perjalanan.

Sampai di daerah Bukit Cinta, rentetan Jeep pun menyapa. Tidak terbayang berapa banyak manusia yang sudah siap di spot-nya masing-masing, hendak bertemu dengan sang mentari. Begitupun dengan kami, buru-buru kami memanjat salah satu bukit di kegelapan dini hari. Brrr… dingin menyengat di sekujur badan. Diam-diam memohon agar bintang yang kami tunggu segera muncul dan menghangatkan kami.

Tak berapa lama, semburat kuning tampak dikejauhan… Ah hangatnya, pikir kami. Tapi bohong! Terakhir saya cek suhu, baru mencapai 5 derajat Celcius. Butuh lebih dari sekadar semburat kuning untuk bisa mengusir sengatan dingin ini.

Dan muncul dia. Bintang paling favorit di jagad manusia, MATAHARI. Dingin yang tadi menyengat pelan-pelan tergantikan oleh Mentari yang menghangat. Maasyaa Alloh. Indahnya, pikir saya. Terdiam entah tuk berapa lama, menyaksikan karya seni ciptaan Alloh SWT yang tak ada duanya.

Breakfast in Arch Cafe

Arch Cafe is one of cafes you can find around central market.

It is a small cafe, but has a cozy atmosphere.

We’re so lucky that our hotel is in the same building, next to it to be precise. And the fact that our breakfast is in this cafe excites us even more.

One of signature dessert in this cafe is none other than its durian cakes. Unfortunately, I haven’t taste it, yet.

I was kinda scared to eat durian cos it’s been a long time since I tasted one. And the last experience with durian is something I won’t repeat again.

Regardless, this cafe is one of those places you can visit to kill your time. Just bring a book to read or a friend to chat along accompanied by a cup of coffee and all set up.

Menghirup Aroma Menyengat Belerang di Kawah Putih Ciwidey

Kawah putih. Salah satu tempat wisata paling ngehits di daerah Jawa Barat. Lokasi ini menjadi sangat terkenal setelah muncul di berbagai film, video klip, pemotretan, hingga foto pre-wedding.

Pemandangan air beraroma belerang yang menyengat hidung, ranting pohon yang kering atau mati, dan kawah yang masih menyemburkan asap menjadi daya tarik utama kawah putih ini. Oleh karenanya, saya pun excited, setelah sekian ribu purnama berniat ke kawah putih, akhirnya terlaksana jua.

Dingin. Brrrr….

Kala itu suhu udara mencapai 17° C. Lalu ketika hari semakin sore dan hujan turun, suhu pun ikut menurun.

Bau.

Bau menyengat dari belerang menusuk hidung. Bagi saya yang indra penciumannya sangat sensitif, bau ini sangatlah mengganggu, bahkan setelah memakai masker, bau belerang masih sangat ada.

Kabut. Gelap.

Saat hujan turun, kepulan asap belerang, bau belerang, air hujan, dan kabut bercampur baur jadi satu. Sungguh pengalaman yang unik, namun menyiksa. Saya, adik, dan mama akhirnya memutuskan untuk segera pergi dan menikmati kawah putih dari ketinggian saja.

Tempat yang indah nan penuh kenangan. Sampai di kawah putih lalu hujan. Naik ke tempat tinggi lalu kaki ade terkilir hingga bengkak, padahal dia harus menyetir kembali ke Jakarta. Dan yang terparah, ditengah perjalanan pulang, hidung saya sakit, diikuti telinga yang tetiba berdengung dan seperti tuli.

Sesampainya di tol, saya merasakan sakit yang luar biasa di bagian telinga. Ketika batuk, saya mengeluarkan bercak darah. Tangis pun pecah seketika. Takut.

Sesampainya dekat rumah, saya dibawa ke UGD. Sayangnya, dokter jaga tidak berani mendiagnosa dan memberikan pengobatan. Saya pun diberi penghilang rasa sakit dan didaftarkan untuk menemui dokter THT keesokan harinya. Sementara adik saya, menahan sakit dan bengkak di kakinya. He just doesn’t like doctors, a lot.

What a trip to Kawah Putih! Fun, yet scary, for me. The thought of something could go wrong with my hearing definitely scared me, the most. And that particular night, I found myself crying to sleep, for it hurt too much. Even the pain killer didn’t do much.

Masjid Jamek, A 109 Years Old Mosque

More than a hundred years old ansd still use actively as a mosque. I’m astonish and curious as I can be.

Ketika berkeliling di sekitar dataran merdeka dan bangunan Sultan Abdul Samad. Hati ini terpanggil untuk mengunjungi salah satu masjid bersejarah di Malaysia ini, Masjid Jamek.

Ingin rasanya sholat dan berdoa di masjid Jamek atau sekadar melihat, mengagumi, dan merasakan masjid tua ini.

Di hari pertama, saya terpaksa harus melewatkan kesempatan ke masjid jamek. Berpikir bahwa esok hari masih ada waktu untuk ke sana.

Tapi apa mau dikata, kami sepertinya belum berjodoh. Di pagi hari sebelum kami terbang kembali ke Jakarta, saya dan Dwi menyempatkan diri ke sana dan kembali dengan penyesalan.

Tidak ada tur di masjid setiap hari Jum’at. Ah, hari ini ternyata hari Jum’at ya, baru sadar saya. Terlihat dari luar gerbang, masjid sedang dipersiapkan untuk sholat Jum’at.

Sementara di sekitar, terlihat pula beberapa turis asing yang bernasib sama seperti saya.

Alhasil, kami pun hanya mengagumi keindahan masjid ini dari luar dan dari kejauhan.

10 Things You Can Do in Kuala Lumpur

Based on my experience, here are some things you can do in Kuala Lumpur for 2 Days and 3 Nights.

And the best things of all, it cost less than I thought for transportation. Why? Because I shared cost only for grab to Batu caves. And the rest of the journey, I just need to walk or ride a free bus.

😁 And I am Happy as I can be.

1. Go climb stairs in Batu Caves


2. Stroll around Merdeka Square


3. Walk along River of Life

4. Admire Sultan Abdul Samad Building

5. Take a self- or wefie in I Love KL spot

6. Have a good look of Twin Tower

7. Get in the crowd as you walk in Petaling Street

8. See it with your own eyes, a 109 years old Mosque called Masjid Jamek.

9. Feel the nature around you in Kuala Lumpur Forest Eco-Park

10. Find your loved one some souvenir in Central Market

The Infamous Twin Tower

Last but not least, visiting twin tower is a must.

Ada pepatah berkata, “Belum benar-benar ke Malaysia kalau tidak ada bukti di Twin Tower atau Menara Kembar.”

Jadi, selain mengunjungi spot ikonik “I Love KL” di dataran merdeka, saya pun harus kudu musti wajib hukumnya ke spot turis yang satu ini.

Sayangnya, tubuh ini sudah terlalu lelah hingga saya tak sanggup berlama-lama ditempat ini. Pada akhirnya, hanya Mey, Yusti, Amel, dan Pipit yang bertahan hingga malam hari.

Kuala Lumpur Forest Eco-Park, Bukit Nanas Forest Reserve

Setelah mendaki ratusan anak tangga di Batu Caves, kami putuskan untuk kembali sejenak ke hotel sekadar untuk meluruskan kaki.

Destinasi selanjutnya adalah Taman Eko-Rimba Kuala Lumpur, Hutan Simpan Bukit Nanas atau Kuala Lumpur Forest Eco-Park, Bukit Nanas Forest Reserve.

Untuk menuju ke lokasi, kami memanfaatkan bus gratis yang wara-wiri di seputaran Kuala Lumpur.

Pun begitu dari gerbang utama menuju eco-park, kami menaiki semacam bus travel gratis yang datang setiap 15 menit sekali.

Hutan di tengah kota. Begitu saya menyebutnya.

Meskipun dikelilingi hutan batu alias bangunan, hutan ini sebenar-benarnya hutan. Monyet dan burung menjadi pemandangan yang tak asing kala kami menuju hutan ini.

Monyet pun jadi topik utama pembicaraan kami. “Wah, kalo disini, monyetnya aman ya, ga dijadiin topeng monyet. Padahal ditengah kota loh dimana orang bebas sliweran.”

Berjalan ke dalam hutan, kami segera melalui canopy trail yang membentang di atas tanah di antara pepohonan.

Ahh, segarnya… sembari saya melalui setiap jengkal canopy trail dan memanjakan mata akan kehijauan di sekeliling saya.

Mendaki 272 Anak Tangga di Batu Caves

Destinasi kami selanjutnya tidak lain dan tidak bukan adalah Batu Caves. Spot turis yang paling umum untuk dikunjungi di Kuala Lumpur.

Tidak sulit untuk mencapai lokasi ini. Apalagi Grab kini ada dimana-mana. Namun bagian tersulitnya adalah menaiki 272 anak tangga untuk menikmati pemandangan di dalam gua.

Sejatinya tempat ini adalah tempat ibadah umat Hindu. Oleh karenanya desain arsitektur dan suasananya kental dengan budaya India dan umat Hindu.

Disana kuberdiri, termangu. Menatap 272 anak tangga warna-warni yang sayup-sayup berseru, “Ayo, lekaslah kemari. Apa kau berani?”

Menghela napas panjang, kunaiki satu-persatu anak tangga itu ditemani seorang Angel disebelahku.

FYI, banyak monyet hidup bebas di sini, jadi pastikan barang bawaan kita tidak menarik perhatian para monyet tersebut.

Sesampainya di anak tangga teratas, kami disuguhi pemandangan yang mengagumkan.

Unbelieveable.

Sama seperti kekaguman saya ketika melihat Borobudur atau candi lainnya di Indonesia. Tak habis pikir, bagaimana caranya mereka membangun kuil didalam goa batu, dimana kita harus menaiki 200 lebih anak tangga untuk mencapai lokasi ini.

Kemudian, ketika kau berpikir bahwa anak tangga ke-272 adalah yang terakhir kemudian bernafas lega, namun dihadapan jelas terpampang nyata puluhan anak tangga lagi untuk kau naiki. Oke, siapa takut. Jom, kita lanjut ke atas. Padahal lutut yang sudah usia ini mulai menjerit dan berderit.

Angel said: “Jom” berarti “Let’s go!”

Cukuplah sudah berurusan dengan anak tangga. Kalau saja kami tidak ingat, satu-satunya jalan kembali adalah menuruni semua anak tangga itu.

River of Life

River of life atau sungai nadi kehidupan. Ngeri ga sih mendengar namanya, terutama bagian ‘nadi kehidupan.’ Artinya, bagian utama yang menopang kehidupan.

Ternyata, sesuai namanya, proyek sungai ini telah memberi kehidupan atau nafas baru kepada lebih dari 10 km kawasan pinggiran sungai di sekitar pusat kota.

Saya pun jadi berandai-andai sekiranya sungai alias kali di Jakarta juga menjadi river of life. Kira-kira berapa kilometer kawasan yang akan menerima manfaat dari sungai. Sebut saja Ciliwung, misalnya.

Mengagumi Bangunan Sultan Abdul Samad

Abdul Samad? Really?

Bangunan yang membuat saya tercengang. Betapa tidak, namanya Bangunan Sultan Abdul Samad, yang notabene adalah nama almarhum Bapak saya minus gelar Sultan.

Kaget bukan main, mengetahui bahwa sesungguhnya saya ini anak dari seorang Sultan. Ternyata oh ternyata, di negri sebrang, engkau adalah seorang Sultan wahai bapakku. Saya, yang sedang Halu tingkat dewa.

Semasa SD dan SMP, saya seringkali malu kalau ditanya orang siapa nama bapakmu. Maklum masih bocah, bawaannya baper melulu.

Kenapa? Tidak lain dan tidak bukan karena teman-teman kadang mengolok-olok dengan memanggil saya anaknya Tomat, anaknya Somad tukang buah, anaknya Somad abang somay. Pokoknya ga jauh-jauh dari predikat abang-abang atau tukang.

Tidak pernah saya tahu kalau Abdul Samad itu juga nama seorang Sultan. Wah, betapa membanggakan. Sepertinya, saat itu saya mainnya kurang jauh.

Anyway, bangunan ini sungguh teramat indah dan megah. Meskipun dibangun ratusan tahun lalu, namun masih terlihat kokoh dan gagah.